Hujan yang turun di langit tak bermentari, menambah
dingin udara yang menusuk rusuk. Dalam kesendirianku terpaku menatap rintik
hujan yang turun.
Katakanlah hujan “bahwa Tuhan tak pernah membiarkanku
sendiri” aku ingin mendengar itu bersama derasmu tapi hanya suara derai air
yang jatuh di atas langit.
34 hari terlewat
sudah aku bersedih, sedih karena malaikat dari Tuhan Ia ambil kembali. 34 hari
sudah mama pergi meninggalkanku. Meninggalkan puterinya di dunia ini sendiri.
“Mama. Seandainya hujan ini adalah air mataku, aku akan
biarkan hujan tak akan pernah turun untuk menangisi perpisahan denganmu”
“Seandainya bintang itu adalah dirimu yang jauh disana,
tak akan aku biarkan ia bersinar di atas langit, namun cukup bersinar saja di
samping hatiku”
“Seandainya Angin yang berhembus adalah belaian kasihmu,
tak akan kurelakan angin berlalu begitu saja”
Tapi mungkin Tuhan tak mengizinkan bumi-Nya kering
karena hujan yang tak kunjung turun.
Dan tuhan juga tak akan membiarkan manusia-Nya gelap dalam
malam tanpa bintang-Nya.
Dan angin sendiri tak kuasa membantah perintah
Penciptanya untuk terus berhembus.
Lalu apa yang harus aku lakukan mama?
Apakah Tuhan memberi rencana yang indah dibalik perpisahan
ini? 34 hari mama pergi. 34 hari hujan selalu turun dalam hatiku. 34 hari pula
aku sudah harus hidup tanpamu.
“Mama bisakah walau tanpa melihatmu kau tetap melihatku?”
“Mama bisakah tanpa pelukmu, kau bisa memelukku dalam
mimpi?”
“Mama bisakah tanpa senyumku, doa yang selalu ku kirim
menjadi senyummu?”
“Mama aku masih mencintaimu, tak peduli 34 hari sudah
atau bahkan 34 abad telah berlalu. Cinta dan doa ini tak akan putus untukmu. Tak
akan lapuk meski mentari bersinar bagai di atas kepala, tak akan luntur
walaupun hujan telah menjadikan danau dan tak akan musnah sampai jasadku
tersenyum menyusul ke tempatmu”.
~Ay
Posting Komentar